Tradisi
Bulan Suro Di Jawa Dalam Perspektif Agama Buddha
Oleh
: Yulianti
Bulan Suro diyakini
sebagai bulan yang keramat dan identik dengan masyarakat jawa.mengapa demikian?
Karena banyak masyarakat jawa yang beranggapan bahwa malam yang sangat sakral. Hal
ini dapat dilihat dari begitu kental masyarakat jawa yang merasuk ke dalam nadi
kehidupan mereka hingga muncul beragam tradisi, sebagai cerminan kepercayaan
mereka. sebagian masyarakat pada malam satu suro dilarang untuk kemana-mana
kecuali untuk berdoa ataupun melakukan ibadah lain. Satu Suro merupakan hari
pertama dalam kalender Jawa di bulan Sura atau Suro dimana bertepatan dengan 1
Muharram dalam kalender hijriyah, karena Kalender jawa yang dari Sultan Agung
yang mengacu pada penanggalan Hijriyah (Islam).
Satu suro biasanya
diperingati pada malam hari setelah magrib pada hari sebelum tangal satu
biasanya disebut malam satu suro. hal ini karena pergantian hari Jawa dimulai
pada saat matahari terbenam dari hari sebelumnya, bukan pada tengah malam. Tradisi
ini merupakan sebuah warisan kebudayaan dari nenek moyang melalui turun-temurun
hingga sekarang. Di Indonesia umumnya, khususnya orang jawa,mereka banyak yang
memperingati serta meyakini pada bulan Suro sebagai bulan sakral yang
kebannyakan mereka digunakan untuk mengharap dan menerima berkah dari bulan
suci ini. Selain dianggap bulan sakral, bulan Sura juga dijadikan bulan untuk
intropeksi diri dari perbuatan yang mereka lakukan selama satu tahun.
Seperti yang dilakukan oleh Dusun Binjai
Ngagung, Kecamatan Bekri, Kabupaten Lampung Tengah pada saat bulan suro.
Masyarakat selama Setahun sekali pada
bulan suro melaksanakan ritual dengan cara genduren (selametan) disetiap sudut
desa. Ritual dengan cara genduren (selametan) ini harus melakukan penyembelihan
hewan yaitu 4 ekor kambing. Dengan proses 4 ekor kambing tersebut dikubur
disetiap sudut desa namun yang diambil hanya kepala kambing dan sisanya dimakan
satu desa tersebut. Hal ini dilakukan oleh masyarakat setempat karena telah
menyakini bahwa dengan melakukan ritual itu maka akan selalu dilindungi oleh
danyang dari desa tersebut sehingga mendapatkan
berkah.
Masyarakat Dusun Binjai Ngagung, Kecamatan Bekri,
Kabupaten Lampung Tengah telah memandang bahwa Upacara Tradisi suro yang
dilakukan membawa perubahan. Perubahan ini dalam konteks positif tampak dalam aspek
keagamaan. Masyarakat semakin sadar akan pentingnya pengalaman nilai-nilai
keagamaan. Perubahan pengalaman keagamaan tersebut dapat dirasakan dengan
adanya kedamaian jiwa individu. Mereka hidup damai meskipun terdapat
beranekaragam atau macam agama di wilayah tersebut, akan tetapi tidak mempunyai
aktivitas keagamaan. Aktivitas keagamaan inilah yang pelan tapi pasti akhirnya
mengubah pola pikir masyarakat. Di samping itu, adanya perbedaan geografis dan
iklim akan mempengaruhi lahirnya berbagai masa dan ragam kebudayaan yang
menyentuh sistem nilai, sistem simbol, sistem seni maupun sistem pengetahuan
manusia
A.
Sejarah
Kemunculan Bulan Suro
Tradisi malam satu Suro
bermula pada saat zaman Sultan Agung sekitar tahun 1613-1645. Saat itu,
masyarakat banyak mengikuti sistem penanggalan tahun Saka yang diwarisi dari
tradisi Hindu. Hal ini sangat bertentangan dengan masa Sultan Agung yang
menggunakan sistem kalender Hijriah yang diajarkan dalam Islam. Sultan Agung
kemudian berinisiatif untuk memperluas ajaran Islam di tanah Jawa dengan
menggunakan metode perpaduan antara tradisi Jawa dan Islam. Dampak perpaduan
tradisi Jawa dan Islam, dipilihlah tanggal 1 Muharam yang kemudian ditetapkan
sebagai tahun baru Jawa. Hingga saat ini, setiap tahunnya tradisi malam satu
Suro selalu diadakan oleh masyarakat Jawa, Malam satu Suro sangat lekat dengan
budaya Jawa. Seperti iring-iringan rombongan masyarakat atau yang biasa kita
sebut kirab menjadi salah satu hal yang bisa kita lihat dalam ritual tradisi
ini.
Menurut tradisi dan
kepercayaan Jawa, bulan Suro diwarnai oleh aura mistis dari alam gaib yang
begitu kental melebihi bulan-bulan lainnya. Sama seperti dalam Tahun Masehi,
setiap bulan memiliki keunikan dalam berbagai cara sudut pandang, demikian juga
dalam Tahun Jawa. satu Sura terkait dengan salah satu pandangan dalam tradisi
Jawa bahwa ada yang disebut dengan Sura Duraka. Bulan Sura Duraka merupakan
sebab pada bulan ini sering terjadi akumulasi kekuatan gaib yang bersifat
negatif, sehingga melahirkan banyak korban bagi mereka yang tidak eling dan
waspada. Akibatnya, muncul banyak musibah dan bencana melanda jagad manusia.
Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa
meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling artinya manusia
harus tetap ingat siapa dirinya dan dimana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sedangkan
waspada berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang
menyesatkan. Karenanya dapat dipahami jika kemudian masyarakat Jawa pantang
melakukan hajatan pernikahan selama bulan Suro. Pesta pernikahan yang biasanya
berlangsung dengan penuh gemerlap dianggap tidak selaras dengan lelaku yang
harus dijalani selama bulan Suro.
B.
Ritual
Pada Bulan Suro
Pada saat bualn suro
pasti ada kaitannya dengan ritual maupun upacara. beberapa uraian pandangan
masyarakat Jawa terhadap tradisi masyarakat Jawa selama bulan Sura. Berikut
adalah uraian menegnai ritual pada bulan suro antara lain:
1.
Siraman malam satu suro
Mandi besar dengan menggunakan air serta
dicampur kembang setaman. Sebagai bentuk “sembah raga” (sariat) dengan tujuan
mensucikan badan, sebagai acara seremonial pertanda dimulainya tirakat
sepanjang bulan Sura; lantara lain lebih ketat dalam menjaga dan mensucikan
hati, fikiran, serta menjaga panca indera dari hal-hal negatif. Pada saat
dilakukan siraman diharuskan sambil berdoa memohon keselamatan kepada Tuhan
agar senantiasa menjaga kita dari segala bencana, musibah, kecelakaan.
2.
Tapa dengan car membisu
Tirakat sepanjang bulan Sura berupa
sikap selalu mengontrol ucapan mulut agar mengucapkan hal-hal yang baik saja.
Sebab dalam bulan Sura yang penuh tirakat, doa-doa lebih mudah terwujud. Bahkan
ucapan atau umpatan jelek yang keluar dari mulut dapat “numusi” atau terwujud.
Sehingga ucapan buruk dapat benar-benar mencelakai diri sendiri maupun orang lain.
3.
Ziarah Kubur
ada bulan Sura masyarakat Jawa lebih
menggiatkan ziarah ke makam para leluhurnya masing-masing, atau makam para
leluhur yang yang dahulu telah berjasa bagi masyarakat. Cara menghormati dan
menghargai jasa para leluhur kita selain mendoakan, tentunya dengan merawat dan
membersihkan makam beliau.
4.
Sesaji
Menyiapkan sesaji bunga setaman atau
tujuh rupa dalam wadah berisi air bening. Diletakkan di dalam rumah. Selain
sebagai sikap menghargai para leluhur yang akan mendatangi rumah. Bunga
tersebut seperti mawar merah, mawar putih, melati, kantil, kenanga.
Masing-masing bunga memiliki makna doa-doa agung kepada Tuhan yang tersirat di
dalamnya. Bunga-bungaan juga ditaburkan ke pusara para leluhur.
5.
Jamasan Pusaka (memandikan pusaka)
Tradisi ini dilakukan dalam rangka
merawat warisan dan kenang-kenangan dari para leluhurnya. Pusaka memiliki
segudang makna di balik wujud fisik bendanya. Pusaka merupakan buah hasil karya
cipta dalam bidang seni dan ketrampilan para leluhur kita di masa silam. Karya
seni yang memiliki falsafah hidup yang begitu tinggi.
6.
Larung Sesaji
Larung sesaji merupakan ritual sedekah
alam. Yang disajikan (dilarung) ke laut, gunung, atau ke tempat-tempat
tertentu. Tradisi ini kebanyakan dijumpai di daerah pesisir laut selatan.
Mereka berkeyakinan bahwa dengan tradisi ini maka amarah penunggu laut, gunung,
atau ke tempat-tempat tertentu dapat tercegah serta nantinya dapat mendatangkan
keberkahan.
7.
Tidak mengadakan pernikahan, khitanan
dan membangun rumah
Tradisi ini bersumber dari keyakinan
masyarakat bahwa bulan suro adalah bulan yang keramat dan penuh bala. Ini
membuat masyarakat tidak bernyali untuk mengadakan suatu acara terutama hajatan
dan acara pernikahan. Mereka berkeyakinan apabila melangsungkan acara itu maka
akan membawa kesialan dan malapetaka bagi diri mereka.
Dari beberapa tradisi
bulan suro diatas sebenarnya hanya menitikberatkan pada ketentraman batin dan
keselamatan. Karenanya, pada malam satu Suro biasanya selalu diselingi dengan
ritual pembacaan doa dari semua umat yang hadir merayakannya. Hal ini bertujuan
untuk mendapatkan berkah dan menangkal datangnya marabahaya. Selain itu,
sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling
(ingat) dan waspada. Eling disini memiliki arti manusia harus tetap ingat siapa
dirinya dan dimana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sementara, waspada
berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan.
C. Tradisi Bulan Suro Menurut
Perspektif Agama Buddha
Tradisi bulan suro
identik dengan membunuh hewan. Masyarakat jawa apabila mengadakan suatu ritual
bulan suro pasti selalu memberikan sesaji berupa pembunuhan terhadap mahluk hidup yaitu hewan.
Hal ini apabila dilihat dari sudut pandang Agama Buddha cara lain untuk
meningkatkan keselamatan dengan menjalankan lima sila salah satunya adalah
dengan menghindari pembunuhan (panatipa). Seseorang pantang membunuh mahluk
lain karena mengetahui betapa berharganya kehidupan itu bagi dirinya dan
seharusnya sama pula halnya dengan kehidupan mahkluk lain. Semua kebahagiaan
dan keselamatan manusia didunia tergantung dari
kehidupan mereka.
Konsep Agama Buddha mengenai mebunuh untuk
dapat menghindarinya hendaknya dapat mengembangkan sikap cinta kasih dan belas
kasih (metta dan karuna) yang tidak dibatasi kecurigaan. Pandangan hidup Agama
Buddha adalah bahwa ttidak ada mahkluk yang berada di luar lingkaran metta dan
karuna. Kedua bentuk kebajikan ini tidak membeda-bedakan anatara manusia, hewan
dan mahluk hidup lainnya. Metta dan karuna tidak ada batasanya dan kita kan
mencoba untuk menghindari manusia dari dari dasar-dasar penggolongan yang salah
seperti menghindari pembunuhan.
Apabila dilihat lebih
seksama kembali tradisi mengandung arti, warisan yang telah ditinggalkan nenek
moyang pada zaman dahulu. masyarakat jawa hanya meneruskan atau melestarikan
kebudayaan turun-temurun dari nenek
moyang. Tradisi bulan suro juga bertujuan agar lebih eling dan waspada terhadap
perbuatan yang dilakukan selama satu tahun. Tradisi bersifat tetap sehingga
tidak dapat diubah karena sudah menganut sebuah kepercayaan dengan keyakinan
yang tinggi. Namun membunuh tetap lah dikatakan sebagai perbuatan jahat yang telah
melanggar sila pertama seperti yang dilakukan dengan meberikan sesaji dengan
cara membunuh. Jadi tradisi tidak dapat dihilangkan atau diubah karena itu
sebuah kepercayaan namun membunuh tetaplah dikatakan salah. sedangkan dalam
Agama Buddha perbuatan membunuh sangatlah dilarang. Sebagai umat Buddha
alangkah baiknya kita memandang masalah ini dengan cara bijaksana (panna)
karena segala perbuatan tidaklah lepas dengan Karma.