Friday, January 16, 2015

Tradisi Bulan Suro Di Jawa Dalam Perspektif Agama Buddha
Oleh : Yulianti
Bulan Suro diyakini sebagai bulan yang keramat dan identik dengan masyarakat jawa.mengapa demikian? Karena banyak masyarakat jawa yang beranggapan bahwa malam yang sangat sakral. Hal ini dapat dilihat dari begitu kental masyarakat jawa yang merasuk ke dalam nadi kehidupan mereka hingga muncul beragam tradisi, sebagai cerminan kepercayaan mereka. sebagian masyarakat pada malam satu suro dilarang untuk kemana-mana kecuali untuk berdoa ataupun melakukan ibadah lain. Satu Suro merupakan hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Sura atau Suro dimana bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender hijriyah, karena Kalender jawa yang dari Sultan Agung yang mengacu pada penanggalan Hijriyah (Islam).
Satu suro biasanya diperingati pada malam hari setelah magrib pada hari sebelum tangal satu biasanya disebut malam satu suro. hal ini karena pergantian hari Jawa dimulai pada saat matahari terbenam dari hari sebelumnya, bukan pada tengah malam. Tradisi ini merupakan sebuah warisan kebudayaan dari nenek moyang melalui turun-temurun hingga sekarang. Di Indonesia umumnya, khususnya orang jawa,mereka banyak yang memperingati serta meyakini pada bulan Suro sebagai bulan sakral yang kebannyakan mereka digunakan untuk mengharap dan menerima berkah dari bulan suci ini. Selain dianggap bulan sakral, bulan Sura juga dijadikan bulan untuk intropeksi diri dari perbuatan yang mereka lakukan selama satu tahun.
 Seperti yang dilakukan oleh Dusun Binjai Ngagung, Kecamatan Bekri, Kabupaten Lampung Tengah pada saat bulan suro. Masyarakat  selama Setahun sekali pada bulan suro melaksanakan ritual dengan cara genduren (selametan) disetiap sudut desa. Ritual dengan cara genduren (selametan) ini harus melakukan penyembelihan hewan yaitu 4 ekor kambing. Dengan proses 4 ekor kambing tersebut dikubur disetiap sudut desa namun yang diambil hanya kepala kambing dan sisanya dimakan satu desa tersebut. Hal ini dilakukan oleh masyarakat setempat karena telah menyakini bahwa dengan melakukan ritual itu maka akan selalu dilindungi oleh danyang dari desa tersebut sehingga mendapatkan  berkah.
Masyarakat  Dusun Binjai Ngagung, Kecamatan Bekri, Kabupaten Lampung Tengah telah memandang bahwa Upacara Tradisi suro yang dilakukan membawa perubahan. Perubahan  ini dalam konteks positif tampak dalam aspek keagamaan. Masyarakat semakin sadar akan pentingnya pengalaman nilai-nilai keagamaan. Perubahan pengalaman keagamaan tersebut dapat dirasakan dengan adanya kedamaian jiwa individu. Mereka hidup damai meskipun terdapat beranekaragam atau macam agama di wilayah tersebut, akan tetapi tidak mempunyai aktivitas keagamaan. Aktivitas keagamaan inilah yang pelan tapi pasti akhirnya mengubah pola pikir masyarakat. Di samping itu, adanya perbedaan geografis dan iklim akan mempengaruhi lahirnya berbagai masa dan ragam kebudayaan yang menyentuh sistem nilai, sistem simbol, sistem seni maupun sistem pengetahuan manusia
A.    Sejarah Kemunculan Bulan Suro
Tradisi malam satu Suro bermula pada saat zaman Sultan Agung sekitar tahun 1613-1645. Saat itu, masyarakat banyak mengikuti sistem penanggalan tahun Saka yang diwarisi dari tradisi Hindu. Hal ini sangat bertentangan dengan masa Sultan Agung yang menggunakan sistem kalender Hijriah yang diajarkan dalam Islam. Sultan Agung kemudian berinisiatif untuk memperluas ajaran Islam di tanah Jawa dengan menggunakan metode perpaduan antara tradisi Jawa dan Islam. Dampak perpaduan tradisi Jawa dan Islam, dipilihlah tanggal 1 Muharam yang kemudian ditetapkan sebagai tahun baru Jawa. Hingga saat ini, setiap tahunnya tradisi malam satu Suro selalu diadakan oleh masyarakat Jawa, Malam satu Suro sangat lekat dengan budaya Jawa. Seperti iring-iringan rombongan masyarakat atau yang biasa kita sebut kirab menjadi salah satu hal yang bisa kita lihat dalam ritual tradisi ini.
Menurut tradisi dan kepercayaan Jawa, bulan Suro diwarnai oleh aura mistis dari alam gaib yang begitu kental melebihi bulan-bulan lainnya. Sama seperti dalam Tahun Masehi, setiap bulan memiliki keunikan dalam berbagai cara sudut pandang, demikian juga dalam Tahun Jawa. satu Sura terkait dengan salah satu pandangan dalam tradisi Jawa bahwa ada yang disebut dengan Sura Duraka. Bulan Sura Duraka merupakan sebab pada bulan ini sering terjadi akumulasi kekuatan gaib yang bersifat negatif, sehingga melahirkan banyak korban bagi mereka yang tidak eling dan waspada. Akibatnya, muncul banyak musibah dan bencana melanda jagad manusia.
Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling artinya manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan dimana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sedangkan waspada berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan. Karenanya dapat dipahami jika kemudian masyarakat Jawa pantang melakukan hajatan pernikahan selama bulan Suro. Pesta pernikahan yang biasanya berlangsung dengan penuh gemerlap dianggap tidak selaras dengan lelaku yang harus dijalani selama bulan Suro.
B.     Ritual Pada Bulan Suro
Pada saat bualn suro pasti ada kaitannya dengan ritual maupun upacara. beberapa uraian pandangan masyarakat Jawa terhadap tradisi masyarakat Jawa selama bulan Sura. Berikut adalah uraian menegnai ritual pada bulan suro antara lain:
1.      Siraman malam satu suro
Mandi besar dengan menggunakan air serta dicampur kembang setaman. Sebagai bentuk “sembah raga” (sariat) dengan tujuan mensucikan badan, sebagai acara seremonial pertanda dimulainya tirakat sepanjang bulan Sura; lantara lain lebih ketat dalam menjaga dan mensucikan hati, fikiran, serta menjaga panca indera dari hal-hal negatif. Pada saat dilakukan siraman diharuskan sambil berdoa memohon keselamatan kepada Tuhan agar senantiasa menjaga kita dari segala bencana, musibah, kecelakaan.
2.      Tapa dengan car membisu
Tirakat sepanjang bulan Sura berupa sikap selalu mengontrol ucapan mulut agar mengucapkan hal-hal yang baik saja. Sebab dalam bulan Sura yang penuh tirakat, doa-doa lebih mudah terwujud. Bahkan ucapan atau umpatan jelek yang keluar dari mulut dapat “numusi” atau terwujud. Sehingga ucapan buruk dapat benar-benar mencelakai diri sendiri maupun  orang lain.
3.      Ziarah Kubur
ada bulan Sura masyarakat Jawa lebih menggiatkan ziarah ke makam para leluhurnya masing-masing, atau makam para leluhur yang yang dahulu telah berjasa bagi masyarakat. Cara menghormati dan menghargai jasa para leluhur kita selain mendoakan, tentunya dengan merawat dan membersihkan makam beliau.
4.      Sesaji
Menyiapkan sesaji bunga setaman atau tujuh rupa dalam wadah berisi air bening. Diletakkan di dalam rumah. Selain sebagai sikap menghargai para leluhur yang akan mendatangi rumah. Bunga tersebut seperti mawar merah, mawar putih, melati, kantil, kenanga. Masing-masing bunga memiliki makna doa-doa agung kepada Tuhan yang tersirat di dalamnya. Bunga-bungaan juga ditaburkan ke pusara para leluhur.
5.      Jamasan Pusaka (memandikan pusaka)
Tradisi ini dilakukan dalam rangka merawat warisan dan kenang-kenangan dari para leluhurnya. Pusaka memiliki segudang makna di balik wujud fisik bendanya. Pusaka merupakan buah hasil karya cipta dalam bidang seni dan ketrampilan para leluhur kita di masa silam. Karya seni yang memiliki falsafah hidup yang begitu tinggi.
6.      Larung Sesaji
Larung sesaji merupakan ritual sedekah alam. Yang disajikan (dilarung) ke laut, gunung, atau ke tempat-tempat tertentu. Tradisi ini kebanyakan dijumpai di daerah pesisir laut selatan. Mereka berkeyakinan bahwa dengan tradisi ini maka amarah penunggu laut, gunung, atau ke tempat-tempat tertentu dapat tercegah serta nantinya dapat mendatangkan keberkahan.
7.      Tidak mengadakan pernikahan, khitanan dan membangun rumah
Tradisi ini bersumber dari keyakinan masyarakat bahwa bulan suro adalah bulan yang keramat dan penuh bala. Ini membuat masyarakat tidak bernyali untuk mengadakan suatu acara terutama hajatan dan acara pernikahan. Mereka berkeyakinan apabila melangsungkan acara itu maka akan membawa kesialan dan malapetaka bagi diri mereka.
Dari beberapa tradisi bulan suro diatas sebenarnya hanya menitikberatkan pada ketentraman batin dan keselamatan. Karenanya, pada malam satu Suro biasanya selalu diselingi dengan ritual pembacaan doa dari semua umat yang hadir merayakannya. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan berkah dan menangkal datangnya marabahaya. Selain itu, sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling disini memiliki arti manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan dimana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sementara, waspada berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan.
C.    Tradisi Bulan Suro Menurut Perspektif  Agama Buddha
Tradisi bulan suro identik dengan membunuh hewan. Masyarakat jawa apabila mengadakan suatu ritual bulan suro pasti selalu memberikan sesaji berupa  pembunuhan terhadap mahluk hidup yaitu hewan. Hal ini apabila dilihat dari sudut pandang Agama Buddha cara lain untuk meningkatkan keselamatan dengan menjalankan lima sila salah satunya adalah dengan menghindari pembunuhan (panatipa). Seseorang pantang membunuh mahluk lain karena mengetahui betapa berharganya kehidupan itu bagi dirinya dan seharusnya sama pula halnya dengan kehidupan mahkluk lain. Semua kebahagiaan dan keselamatan manusia didunia tergantung dari  kehidupan mereka. 
 Konsep Agama Buddha mengenai mebunuh untuk dapat menghindarinya hendaknya dapat mengembangkan sikap cinta kasih dan belas kasih (metta dan karuna) yang tidak dibatasi kecurigaan. Pandangan hidup Agama Buddha adalah bahwa ttidak ada mahkluk yang berada di luar lingkaran metta dan karuna. Kedua bentuk kebajikan ini tidak membeda-bedakan anatara manusia, hewan dan mahluk hidup lainnya. Metta dan karuna tidak ada batasanya dan kita kan mencoba untuk menghindari manusia dari dari dasar-dasar penggolongan yang salah seperti menghindari pembunuhan.
Apabila dilihat lebih seksama kembali tradisi mengandung arti, warisan yang telah ditinggalkan nenek moyang pada zaman dahulu. masyarakat jawa hanya meneruskan atau melestarikan kebudayaan  turun-temurun dari nenek moyang. Tradisi bulan suro juga bertujuan agar lebih eling dan waspada terhadap perbuatan yang dilakukan selama satu tahun. Tradisi bersifat tetap sehingga tidak dapat diubah karena sudah menganut sebuah kepercayaan dengan keyakinan yang tinggi. Namun membunuh tetap lah dikatakan sebagai perbuatan jahat yang telah melanggar sila pertama seperti yang dilakukan dengan meberikan sesaji dengan cara membunuh. Jadi tradisi tidak dapat dihilangkan atau diubah karena itu sebuah kepercayaan namun membunuh tetaplah dikatakan salah. sedangkan dalam Agama Buddha perbuatan membunuh sangatlah dilarang. Sebagai umat Buddha alangkah baiknya kita memandang masalah ini dengan cara bijaksana (panna) karena segala perbuatan tidaklah lepas dengan Karma.



No comments:

Post a Comment